skip to main | skip to sidebar

About me

Foto Saya
Nisanasini
I'm an ordinary girl who want the extraordinary thing in my life :) I'm so excited to japanese animation and manga, they're awesome :D I also like J-pop so much *o* Do you agree with me?
Lihat profil lengkapku

Archives

  • ▼ 2012 (2)
    • ▼ Maret (2)
      • Sebuah Renungan Tentang Anime&Manga di Indonesia
      • Trip (?) To Japan... Foundation -_-
  • ► 2011 (9)
    • ► September (9)

See this!

  • Home
  • Music

My Posts

  • Akses (1)
  • Anime (3)
  • GOSICK (1)
  • Gundam SEED Destiny (1)
  • Hardware (1)
  • Internet (3)
  • My Daily (4)
  • Unforgettable Memory (1)

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Mayday My Day

Explore your mind. Express your imagination :)

Sebuah Renungan Tentang Anime&Manga di Indonesia

Jumat, 23 Maret 2012

Ini hanya Copas dari sebuah postingan yang saya baca di sebuah website.

Tidak ada maksud melecehkan atau semacamnya, saya hanya mau membuka pikiran kita semua untuk merenungi dan memahami anime dengan lebih mendalam lagi.

Ayo demo dengan cara sebarkan ini…

"Suatu saat nanti, aku akan menjadi raja bajak laut!"

Tahukah kalian siapa yang pernah berbicara seperti itu?

Yep, dialah Luffy, tokoh utama dari serial anime & manga berjudul One Piece. Serial hasil karya mangaka bernama Eiichiro Oda ini sudah menjadi hits di berbagai negara, dan menjadi serial manga & anime paling digemari & dinanti.

Meskipun bercerita mengenai bajak laut, One Piece tidak serta merta hanya berisikan pertarungan, kekerasan, maupun peperangan saja. Dari segi cerita, berbagai macam fantasi dan juga imajinasi yang dibagikan oleh Oda sensei melalui guratan tintanya sukses menghipnotis para pembaca manga&juga penonton setia animenya.

Banyak sekali unsur positif yang terselip di anime semacam One Piece ini. Persahabatan, Perjuangan, mimpi, harapan & cita-cita. Melalui anime ini, Oda sensei mengajarkan pada kita mengenai nilai hidup, pesan moral, hingga arti persahabatan&perjuangan.

Namun, apa yang terjadi?

Komisi Penyiaran Indonesia pernah melabeli One Piece sebagai salah satu anime yang tidak layak tayang di Indonesia.

Well...well... Di postingan ini, saya tidak mengajak kalian untuk bicara soal One Piece kok...
Saya cuma mengambil One Piece sebagai contoh saja. Bersama One Piece, ada Naruto, Bleach, Conan, hingga Death Note yang harus menerima cap 'bermasalah' di beberapa stasiun tv kita.

Mengapa?
Apa yang salah dengan anime-anime itu?
Nah, ini dia yang hendak saya bahas disini…

Saya akui, saya bukan yang pertama bicara seputar masalah ini. Hanya saja, jika kalian (termasuk saya) memang menyukai anime, maka sudah sewajarnya kita mulai berpikir lebih kritis lagi mengenai hal ini.

Biar saya bercerita sebentar…
Suatu ketika, pada saat saya tengah menonton anime (Naruto kalo nggak salah...), datanglah teman saya. Saya persilakan dia masuk, duduk diruang tamu, dan ngobrol sejenak.
Ketika dia melihat ke arah layar tv saya, dia lantas nyeletuk seperti ini: "Ngapain kamu nonton kartun beginian? Kayak anak kecil aja..."

Yah, saya nggak terlalu bisa mendebat dia saat itu. Tapi, ketika esoknya saya berkunjung ke rumahnya, dia malah lagi nonton sinetron, dimana disitu bercerita tentang pesugihan, dan ada adegan orang lagi berantem dengan laba-laba 3D. What the...? (Kalian tau kan, sinetron yang saya maksud?) Anime & sinetron khas Indo.

Menurut kalian, mana yang seharusnya mendapat label 'bermasalah'?
Menurut saya, inilah akar dari permasalahan ini…
Di persepsi sebagian besar orang Indonesia, anime dianggap sebagai kartun, yang diperuntukkan bagi anak-anak. Berbagai macam judul dan genre anime yang ada dipukul rata, seakan-akan semuanya itu hanya untuk anak-anak. Sehingga muncul sebuah anggapan bahwa anime memang acara untuk anak-anak.

Sebenarnya, tanggapan ini tidak sepenuhnya salah, dikarenakan memang ada banyak anime yang bobot ceritanya ringan, penuh adegan & karakter lucu, dan dipadu dengan animasi warna-warni yang menarik. Khas sekali dengan karakteristik anak-anak usia 6-9 tahun. Hanya saja, tidak semua judul anime seperti itu.

Untuk lebih mudah membandingkannya, mari kita ambil beberapa contoh. Lihatlah anime berjudul Doraemon, Minky momo, P-Man, Ninja Hattori, hingga Bakabon. ceritanya ringan, simple, lucu, dan sangat mudah dimengerti. Jelas sekali bahwa anime-anime tersebut diperuntukkan bagi anak-anak.

Kemudian, mari kita tengok judul-judul lain, seperti One Piece, Naruto, Bleach, Dragon Ball, hingga Fairy Tail. Ada adegan kekerasannya, tapi masih dalam tahap wajar. Cerita yang menantang, tegang, dan penuh petualangan. Pasti ini diperuntukkan bagi penonton usia remaja, yang mulai berpikir kritis.

Lantas, bagaimana dengan Evangelion, Death Note, Detective Conan, Code Geass, Blood+ hingga Bakemonogatari? Kebanyakan dari anime-anime itu terselip unsur Gore, violent, pembunuhan, jalan cerita yang rumit, hingga terkadang terselip adegan-adegan vulgar. Jelas sekali, mereka tergolong dalam kategori anime dewasa.

Inilah dia, satu point penting yang menurut saya diabaikan oleh KPI…

Rating! Di Jepang, semua animesudah tentu dikelompokkan menurut ratingnya. Sehingga, jam penayangannya pun berbeda-beda.

Masalahnya, rating tersebut seperti tidak berlaku di Indonesia. Pihak televisi membuat anime tersebut seolah-olah untuk anak-anak. Hal ini bisa dilihat dari jam tayang dan penayangan iklan. Mayoritas anime-anime remaja & dewasa ditayangkan saat jam anak-anak aktif di rumah (minggu atau sore hari) dengan iklan yang juga untuk anak-anak.

Hal yang terjadi berikutnya pun sudah bisa ditebak.

Bayangkan reaksi seorang ibu,yang tengah menyuapi anaknya di depan tv di hari minggu pagi, dan terbelalak kaget melihat adegan vulgar dianime Ranma 1/2 yang luput sensor. Hal ini sudah pasti akan memberikan persepsi negatif dimata orang tua. Secara sepihak, mereka akan menilai, bahwa anime itu:
1. Penuh dengan unsur kekerasan
2. Merusak moral
3. Porno!
4. Nggak mendidik lah, Nggak bermanfaat lah, dsb...
Padahal, banyak tayangan buatan Indonesia yg jauh lebih tidak mendidik, seperti sinetron, film percintaan remaja juga film horor. Di kala tayangan-tayangan Indonesia tidak mendidik, KPI malah sibuk mengurusi tayangan luar tanpa mengurusi tayangan negeri sendiri (hanya sedikit dari banyak tayangan bermasalah negeri sendiri yangdiurusi KPI).

Lantas, siapa yang salah?

Pihak stasiun televisi, badan lembaga sensor Indonesia & juga KPI harusnya lebih responsif dan peka mengenai masalah ini. Seharusnya sebelum ditayangkan, anime dikaji terlebih dahulu. Mengenaigenre, dan juga ratingnya (jangan asal sensor melulu...). Ketika genre & rating sudah ditetapkan, maka baru bisa dipilih jam tayang yang tepat. Tidak sepatutnya anime-anime seperti Ranma, Shinchan, hingga Conan tayang di jam anak-anak.

Sudah pasti anak kecil bakalan melongo gak tahu apa-apa ketika melihat conan menjabarkan analisisnya didepan si pelaku. Sudah pasti si Ibu akan kelabakan mendapati tingkah anaknya yang coba-coba menggambar 'si gajah' gara-gara terpengaruh anime Crayon Shinchan. Sudah pasti si anak kecil bakalan meniru adegan-adegan kekerasan ala Naruto.

Jika hal semacam ini sudah terjadi, maka cap buruk langsung dialamatkan pada anime yang bersangkutan. Mereka akan menilai anime ini buruk, karena berisi adegan kekerasan, vulgar, pembunuhan, dan lain sebagainya, yang tidak pantas ditonton oleh anak-anak (Halooo? perasaan anime-anime itu emang bukan untuk anak-anak, deh...). Buntutnya, beberapa judul anime top di Jepang justru tidak masuk, dan dilarang tayang di Indonesia.

Sejujurnya saya berpendapat bahwa kualitas serial di Indonesia sendiri tidak jauh lebih baik dari anime bahkan lebih buruk. Saya tidak akan menyebutkan nama, tetapi berulang kali saya selalu melihat beberapa sinetron yang membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan otak. Yang ditayangkan kebanyakan adalah percintaan, gaya hidup konsumtif hingga obrolan-obrolan sampah yang tidak berkualitas serta tidak mendidik.

Penyelesaian dari hal ini memerlukan perhatian lebih dari pihak stasiun televisi, dan juga KPI itu sendiri. Dengan penilaian & pengkajian mendalam mengenai judul anime yang hendak tayang, akan memberikan pemahaman & juga memberikan persepsi baru bagi masyarakat awam, bahwa anime tidak seutuhnya untuk anak-anak, dan anime tidak selalu memberikan pengaruh negatif.

Selain itu, selalu ada pesan moral yang terkandung dalam sebuah anime.
Catat ini! Di hampir semua anime yang sudah saya tonton, selalu terselip nilai-nilai positif, yang benar-benar besar manfaatnya jika bisa diaplikasikan di kehidupan kita. Beberapa sisi positif yang terdapat dalam anime adalah:
1. Anime mengajarkan kita untuk selalu berimajinasi.
Imajinasi itu penting! Bahkan, Einstein sendiri berkata bahwa imajinasi jauh lebih penting dibandingkan ilmu pengetahuan.
2. Anime mengajarkan kita bahwa kebaikan akan selalu menang. Klasik, memang. Tapi tunggu dulu... bukankah hal ini patut untuk ditanamkan dalampikiran anak-anak sejak usia dini?
3. Anime mengajarkan berbagai hal penting seperti nilai persahabatan, pengorbanan, kebenaran, hingga perjuangan (terutama dalam meraih cita-cita).
Sedangkan sinetron mengajarkan kita untuk... eeenggg... apa ya?
Oh, ya saya ingat. Sinetron mengajarkan kita untuk selalu:
1. Berpakaian tidak rapi disekolah
2. Dugem,&mabok-mabokan.
3. Berantem rebutan pacar.
4. Menjadi ortu jahat bin sadis & gemar menyiksa
5. Percaya pada hal-hal gaib or mistis.
6. Naik Elang 3D kemanapun kita pergi.
Hahahaha...

Menurut kalian, mana yang seharusnya pantas untuk dicap 'bermasalah'?
Jadi, sudah paham kan, point-point dari pembahasan kita diatas?

Kesimpulannya, Tidak semua judul anime layak untuk ditonton oleh anak-anak. Karena, sebagian merupakan anime yang diperuntukkan bagi pemirsa remaja, sebagian lagi dewasa. Jadi, jangan caci maki orang dewasa yang masih suka menonton anime, karena itu bukan hal yang salah. Selain itu, anime selalu punya nilai moral yang begitu bermanfaat jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, jangan mentang-mentang adegannya berantem, jangan langsung men-judge bahwa anime itu tidak bermanfaat.

Ada pesan yang ingin saya bagikepada bapak/ibu sekalian, yang seringkali melarang putra-putrinya untuk menonton anime…

Jangan terus-terusan menyudutkan anime, dan mencapnya dengan berbagai hal negatif. Di Indonesia sendiri, banyak sekali acara yang dampaknya jauh lebih negatif jika dibandingkan dengan anime (Mau,saya jabarkan satu-per satu disini?). Dan ironisnya, orang tua kebanyakan justru 'menghalalkan' acara-acara semacam itu untuk ditonton. Jelas, ada yang salah disini.

Lalu, untuk Lembaga negara independen yang bernama Komisi penyiaran Indonesia…
Kajilah setiap tayangan dengan lebih mendalam, baik itu tayangan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Tentukan ratingnya dengan benar (tayangan ini layak ditonton oleh siapa), dan pilihkan jam tayang yang tepatbagi tayangan tersebut. Jika hal-hal yang saya sebutkan tadi sudah dilakukan, maka saya yakin tak akan lagi muncul masalah semacam ini.

Terakhir, saya berpesan pada pembaca sekalian…
Jika kalian adalah anak-anak, tontonlah anime sewajarnya. Dalam artian, tidak semua judul bisa kalian telan. Untuk beberapa judul, ada baiknya jika kalian minta didampingi oleh orang tua. Jika anda adalah orang tua dan memiliki anak yang hobi menonton anime, maka jangan khawatir. Anime bukan racun bagi anak anda, asal anda selektif, dan paham mengenai nilai moral didalamnya yang bisa diajarkanpada anak anda. Dan, jika andaa dalah orang dewasa yang masih mencintai anime, jangan khawatir. Anda normal. Teruslah berimajinasi, dan teruslah menikmati alur cerita yang tersaji.

Sekian dari saya dan terima kasih banyak atas perhatian anda. Semoga ini bisa jadi bahan renungan untuk kita semua.

Diposting oleh Nisanasini di 09.05 0 komentar  

Label: Anime

Trip (?) To Japan... Foundation -_-

Kamis, 15 Maret 2012

Emm, sejujurnya gue cuma lagi bingung mau ngapain. Tiba-tiba gue inget perjalanan ekstrim gue menuju pusat ibu kota bareng temen ngebolang yang sama-sama gak tau arah. Kemarin baru ngebuka blog lagi, jadi gue memutuskan untuk memperbarui postingan gue dengan cerita ini.

Waktu itu hari Kamis, tanggal 22 Desember 2011. Lagi damai-damai nya mau rapum, si Azuk tiba-tiba bilang kalau hari itu hari terakhir daftar buat ujian N5 alias ujian kemampuan bahasa Jepang. Gak mau ketinggalan lagi, gue sama Azuk memutuskan nekat pergi ke tempat daftarnya yaitu Japan Foundation a.k.a JF yang menurut website-nya ada di Jl. Sudirman, Jakarta Selatan.

Sebenernya rapum belum selesai. Tapi berhubung waktu itu udah siang dan JF tutup jam 5 sore, kita gak bisa nungguin sampe rapum selesai. Akhirnya kita izin dan berangkat siang itu juga.

Awalnya gue gak serius, tapi karena udah kepepet, mau gak mau gue jalan juga. Sebelum pergi, gue dan Azuk nanya dulu ke Sensei arah dan naik apanya. Puni-Sensei bilang enakan naik kereta, tapi Maya-Sensei bilang enakan naik bis. Ini malah bikin kita bingung.

Dihitung-hitung, kalo naik bis emang enak gak turun2 lagi. Tapi macetnya Jakarta itu yang gak ketahanan, keburu JF nya tutup dan malah jadi percuma. Akhirnya kita sepakat untuk naik kereta. Bermodalkan pengetahuan tipis mengenai stasiun-stasiun Jakarta, internet, dan slogan "Malu Bertanya Sesat di Jalan", gue dan Azuk berangkat ke stasiun Depok Baru.

Sampe stasiun kita langsung beli tiket tujuan Jakarta Kota. Kereta Commuter Line harganya 6000 rupiah.

Tiket Commuter Line Depok Baru-Jakarta Kota

Di dalam kereta, sejujurnya gue dan Azuk gak tau harus turun di mana. Karena JF adanya di Sudirman, jadi gak mungkin turun di stasiun terakhir. Saat itu gue bersyukur banget hape nya Azuk Blekberi, jadi bisa internetan terus. Nanya om gugel malah bikin bingung. JF adanya di JakSel, tapi kata om gugel Sudirman ada di JakPus. Setelah nyari referensi lain, kita memutuskan untuk turun di stasiun Cawang, habis itu naik busway.

Di stasiun Cawang ternyata ada 2 halte busway. Kita langsung jalan dengan pede-nya ke halte yang pertama kali kita lihat. Dan bener aja, kita salah tempat. Halte ini harus muter dulu, terus kita transit dan ganti bus kalau mau ke Sudirman. Udah males banget jalan balik lagi, karena, yah kita semua taulah jembatan halte busway itu panjangnya sepanjang jagat. Gue dan Azuk pun akhirnya beli tiket aja. Gak apalah muternya paling bentar, gitu pikir kita.
Tiket busway dari halte depan Stasiun Cawang
Kita turun si halte apa-gitu-gatau-namanya terus nyeberang lagi dan ganti bus. Di luar dugaan, ini muter terlama yang pernah gue alamin. Mungkin lebih cepet perjalanan berangkat sekolah gue daripada perjalanan yang judulnya cuma sekedar muter. Ini pertama kalinya gue naik busway, dan langsung dapet kesan buruk. Gue jadi tau rasa keselnya orang sama mobil atau kendaraan apapun yang nyerobot jalur busway. Harusnya gue bisa lebih cepet sampe kalo naik busway, tapi malah harus ikut mengantri menunggu macet cuma buat belok doang. Dan mobil-mobil di depan itu pengen gue bakar satu-satu rasanya.

Setelah bermacet-macet ria, akhirnya sampe juga di halte selanjutnya. Lagi-lagi gue lupa halte apa, pokoknya dari sini, kita harus ganti bus lagi untuk (beneran) menuju Sudirman. Busway ini lumayan penuh dibanding yang tadi-tadi, gue sama Azuk sampe harus berdiri.

Akhirnya kita turun. Di sana, gue dan Azuk dihadapkan pada jalur jembatan halte busway yang panjangnya ngelebihin jagat. Pokoknya super panjang ditambah tanjakan. Jembatan ini ada di epan sebuah mal gede yang gue lupa namanya, sekitar Gatot Subroto. Oke, jalanin aja, kalau gak cepet, JF keburu tutup. Sampe di puncak tanjakan, ada pertigaan. Sumpah dilema banget. Masalahnya itu pertigaan sama-sama gak keliatan ujungnya dan orang yang bisa ditanyain gak ada.

Mengikuti insting, kita jalan di jalur yang belokan pertama. Alhamdulillah, gak jauh-jauh amat udah ada halte lagi. Baru aja seneng, kita langsung lemes lagi pas tau halte ini bukan arah Sudirman, tapi arah Gatot Subroto. Terpaksa balik lagi ke pertigaan tadi, dan dengan nanjak. Mikir bentar di pertigaan, kita sepakat jalan lurus. Di tengah jalan gue bersorak dalam hati karena nemuin petugas berseragam hitam putih a.k.a mas-mas busway yang lagi  megang (?) alat-gak-tau-apa yang jelas itu alat ada selangnya. Kita buru-buru nanya, dan.... tada! Gue dan Azuk salah jalan lagi. Kalau begini sama aja kita menyusuri jalanan itu satu persatu. Mending amat kalau jalannya pendek, ini panjang semuanya -_-

Setelah berterima kasih, gue dan Azuk berjalan gontai ke jalur terakhir yang belom kita lewatin. Kurang lebih 10 menit jalan, udah mendaki gunung lewati lembah alias turunan tanjakan, kita masih belom ngeliat ujungnya jembatan ini. Gue sama Azuk udah pegel banget, haus banget, ditambah panasnya Jakarta dan debunya itu, pokoknya hampir putus asa lah. Gue gak tau mau ngelakuin apa kalau sampe di ujung ternyata kita masih salah jalan. Gue dan Azuk juga udah bertekad minta makan sesampainya di JF, sedetik kemudian kita baru inget itu kantor resmi, punya Jepang lagi -_-

Subhanallah banget rasanya waktu ngeliat ujung jembatan. Masuk ke halte, kita langsung naik bus yang arah Blok M. Yah, seperti tadi, kita gak tau mau turun di mana. Sebelum-sebelumnya, kita selalu nanya dulu ke mas-mas atau mbak-mbak busway (?) yang nongkrong di loket ataupun di mana aja (di sekitar situ lah pokoknya). Tapi karena tadi rame dan buru-buru, gue sama Azuk cuma nanya naik yang mana, gak nanya berhenti di mana. Alhasil kita nanya ke mas di dalem busway yang jagain pintu, katanya turun di halte Sudirman.

Halte Sudirman, yeay! Gue sempet berniat sujud syukur waktu itu, akhirnya sampe juga di halte Sudirman. Gue dan Azuk berjalan (setengah) semangat ke pintu halte yang nyambungnya ke jembatan (lagi -____-). Karena kita masih pake seragam batik merah ngejreng khas Smansa, kita ditanya sama petugasnnya yang kayaknya selenge'an itu.
"Mau kemana, neng?"
"Ke Japan Foundation, mas. Dari sini ke mana ya?"
"Oh, Japan Foundation yang gedung Summitmas?"
"Iya, mas. Ke mana ya?" gue menjawab dengan riang gembira karena mas-masnya tau, berarti udah deket.
"Wah, salah turun, neng. Harusnya turun di halte GBK tadi. Kalau dari sini jadinya jauh."

Ngek -_- Sesaat gue mau ngebunuh mas penjaga pintu busway yang tadi.

Dengan lesunya gue tanya lagi.
"Kalo balik masih bisa, mas?"
"Bisa aja, sih. Tapi beli tiket lagi, neng. 'Kan udah keluar halte," jawab mas-masnya sambil nyengir.
Fix. Udah fix gue gak mau balik ke halte GBK. Udah jauh bayar lagi pula. Emang, sih, dari pertama naik busway di halte Cawang dan gonta-ganti bus sampe sini, gue sama Azuk cuma beli tiket sekali. Tapi sumpil demi apapun gue udah capek banget dan gak mau balik lagi. Akhirnya gue cuma nyahut, "Yaudah deh, mas. Gak usah balik lagi. Makasih ya." dan keluar halte menyusuri jembatan lagi bareng Azuk.

Entah kenapa setelah nyasar di jembatan super panjang yang ada di depan mal tadi, gue jadi agak trauma sama jembatan busway. Apalagi pas ketemu pertigaan lagi di sini. Untungnya ujung jembatan ini keliatan jelas, jadi gue dan Azuk langsung tau kita harus lurus sampe ke seberang jalan.

Turun dari jembatan, gue dan Azuk sempet berpikir untuk naik ojek kalau emang masih jauh. Secara, sekarang udah jam empat tapi masih belom tau pasti yang mana dan di mana letak si Summitmas itu. Tapi, kita sepakat nanya dulu, siapa tau emang udah deket?
Dan, jawaban abang ojek ini benar-benar hampir membuat gue melayang.
"Oh, Summitmas udah deket, neng. Nih, ikutin aja pagar seng ini. Kalu udah abis, itu gedungnya. Tuh, dari sini juga kelihatan."
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Kita langsung pasang tampak sumringah dan ngucapin terima kasih dengan riangnya ke abang ojek itu. Gue ke-inget mas busway di halte tadi, harusnya dia gue tempeleng aja. Bikin bingung doang -_-

Tanpa dikomando, gue dan Azuk berlarian mengejar (?) Summitmas. Gak sabar mau ngeliat Japan Foundation. Sebenernya, sih, waktu lagi jalan, tiba-tiba gerimis kecil. Jadilah kaki kita berdua refleks lari. Daripada malu setengah mati masuk gedung elit dengan basah kuyup, mending malu setengah idup lari-larian pake seragam sekolah Depok di trotoar Jalan Sudirman, jalan besar Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung pencakar -rawrr?- langit.

Subhanallah. Gue tadinya mau foto-foto saking senengnya bisa sampe dengan selamat. Tapi gak jadi karena pasti bakal dikira alay kesasar. Gue dan Azuk jalan ke depan pintu, ke tempat satpam berdiri di sebelah alat pemeriksa barang gitu. Dia minta tas kita dialirkan (?) di atas meja berjalan itu, sekedar dicek, siapa tau kita bawa pistol.
Tiba-tiba si satpam nanya, "Dari SMA mana, dek?"
Gue dan Azuk liat-liatan bentar terus jawab, "SMA Negeri 1 Depok, pak."
"Dari Depok juga? Saya juga tinggal di Depok. Eh, tapi SMA 1 itu di mana ya?"
"Oh ya, pak? SMA 1 di Jl. Nusantara, pak. Yang deket SD Anyelir." Gue juga bingung kenapa patokannya SD Anyelir.
"Oh, Anyelir, sih, saya tau. Rumah saya, kan deket situ." Pak satpam itu nyengir. Gue dan Azuk balas senyum terus ngambil tas dan masuk ke gedung. Gak lama, si satpam manggil lagi, ngasihin pin nya Azuk yang jatuh di depan dia tadi.

Ternyata dunia emang sempit. Di sini aja ada orang Depok yang kerja (yaiyalaaah). Entah kenapa gue dan Azuk ngerasa kaya punya temen sekampung sepenanggungan. Tapi yang gue bingungin, bapak itu orang Depok yang tinggal di deket Anyelir tapi gak tau Smansa. Oke, lupakan aja.

Setelah nitipin kartu pelajar di resepsionis, kita dikasih nametag pengunjung dan disuruh naik ke lantai 3, lantai kantornya Japan Foundation. Kita satu lift satu tujuan sama bapak-bapak Jepang. Sayang juga, sih, seandainya yang satu lift adalah ikemen #plak

Masuk JF, kita di arahin ke tempat pendaftaran dan langsung proses administrasi di sana. Kita dikasih kwitansi dulu sebagai tanda pesertanya. Nanti waktu daftar ulang, baru kita dijelasin lebih rincinya. Biaya pendaftarannya 5000 rupiah saja. Oh iya, di ruangan ini (yang kayaknya ruang guru juga) banyak guru-guru Jepang yang lagi ngobrol. Gue sama Azuk sok-sok ngedengerin tapi gak ngerti juga mereka ngomongin apaan.

Kwitansi Pembayaran Uang Pendaftaran

Lega luar biasa setelah kita keluar dari ruangan itu. Kaya abis ngelepasin beban seratus ton dari pundak. Oke, hiperbola. Tapi kita beneran seneng dan... nyesek. Udah petualangan ala Dora the Explorer dari jam 1 sampe jam 4 di jalan, ternyata cuma krang dari 5 menit di dalem JF nya.

Gak mau rugi-rugi banget, gue dan Azuk keliling dulu. Kita ngintip kelas les bahasa nya dikit, terus sok-sok ke kamar mandi. Di kamar mandi, wastafel nya gak pake keran, men. Pake, sih, tapi kerannya sensorik gitu. Kalau ada tangan di bawahnya, dia bakalan ngeluarin air, kalau nggak, berhenti. Jadi gak pake tombol atau gagang yang mesti digeser-geser lagi. Dan kabarnya, wastafel begini cuma ada satu di Indonesia, cuma di JF. Emang Jepang canggih.

Abis foto beberapa kali di depan kamar mandi -yang pasti tanpa sepengetahuan orang JF- kita merelakan diri untuk turun dan pulang. Udah lewat jam setengah 5 sore, perjalanan pulang masih jauh. Kita turun dan ngambil kartu pelajar lagi, untung mbak resepsionisnya baik banget, jadi gak males ke sini lagi. Ah, satpam yang di depan udah ganti jadi ibu-ibu. Tadinya mau nanya jalan pulang padahal.

Belom-belom, gue dan Azuk udah bingung di halte Sudirman. Bingung mau naik bus ke arah mana. Setelah nanya-nanya soal stasiun terdekat, gue ikutin saran ibu-ibu untuk naik bus ke Dukuh Atas. Yap, ini baru busway. Penuh. Gue baru sadar sekarang jam pulang kantor. Banyak yang berebut masuk sampe dimarahain mas-mas penjaga pintu busway-nya. Gue dan Azuk berdiri di deket pintu dengan umpel-umpelan. Masih untunglah, masih dapet tempat.

Oh iya, gue mau cerita soal mesin minuman otomatis yang ada di halte Sudirman. Gue sama Azuk seneng banget waktu ngeliat mesin itu. Berasa Indonesia udah maju gitu. Berhubung kita emang haus, jadi kita berniat beli minuman botolan di situ. Sekedar info, minuman yang dijual di sini minuman produknya kokakola. Ada soda, palpi oren, sama fresti. Cara bayarnya, harus pake uang kertas pas, gak bisa kembalian. Padahal harga satuannya itu 6000 rupiah. Mana ada uang kertas pecahan 6000? Emang rada sinting ini mesinnya.

Azuk masukin uang 10ribu, dia beli satu. Udah minumannya keluar, ada tulisan "Saldo masih tersisa 4000, transaksi lagi?" di monitornya. Duitnya bakal hilang kalo dalam berapa-menit-gue-lupa gak ada respon. Gue refleks masukin selembar 2000an, niatnya biar bisa beli lagi. Gue masukin berkali-kali, ditolak terus. Pas Azuk masukin 2000an mulus, baru diterima. Terus baru mau memproses minuman gue.

Jadi mesin ini selain gak mau kembalian, maunya uang mulus sodara-sodara. Setelah lama ngutak-atik (ada kali 5 menit lebih) akhirnya kita dapet tuh minumannya. Gue jadi mikir, ini mesin dibuat supaya cepat dan praktis. Tapi bukannya cepat dan praktis, gue malah jadi repot dan susah mau beli minum doang. Belum lagi gimana nasib orang yang sendirian dan mau beli cuma satu? Dia harus merelakan 4000 kembaliannya kah? Atau dia harus selalu siap sedia tiga lembar 2000an mulus buat beli minum di sini? Entahlah, sekali lagi, mesin ini emang rada sinting.

Balik ke jalan pulang. Ternyata Dukuh Atas itu semacam pemberhentian terakhir bus ini. Jadi lumayan banyak yang turun di sini. Di halte ini kita lewat jembatan lagi yang Alhamdulillahnya gak panjang. Gue langsung masuk aja ke dalam halte, bingung ngeliat orang-orang yang ngantri sampe ke jembatan. Terus gue nanya ke petugasnya.
"Kalau ke Manggarai antri di mana ya?"
"Manggarai dari atas, dek, ngantrinya."
Gue baru paham kenapa ada antrian panjang itu. Dan ternyata gue termasuk di antara mereka yang harus sabar ngantri dulu -_-

Alhamdulillah gak terlalu lama, kita bisa masuk busway nya. Sumpah ini jauh lebih penuh daripada yang tadi. Sampe dorong-dorongan masuknya, lebay banget Indonesia. Udah jam enam sore, penumpang busway rata-rata orang pulang kantor semua. Gue jadi malu sendiri masih pake seragam sekolah, SMA Depok pula.

Di dalem, mas-mas penjaga pintu sempet ribut sama ibu-ibu yang bawaannya makan tempat. Disuruh geser si ibu malah marah-marah, padahal bus lagi penuh sesak banget. Azuk berdiri jauh dari gue. Tapi untungnya pas gue turun dia ngeliat, karena si Azuk bener-bener menyerahkan urusan jalan pulang ke gue. Dia udah kecapekan kayaknya, gak mau mikir lagi.

Kita berdua jalan kaki sambil ngeliat papan penunjuk jalan. Ke arah stasiun Manggarai. Gue cuma tau rute kereta karena emang gampang dihapal daripada rute busway yang ribet banget itu. Jadi, yang gue tuju ya stasiun. Setelah nanya-nanya, kita sampe di stasiun dan langsung beli tiket ke Depok. Harganya masih sama, dan katanya sebentar lagi keretanya dateng.
Tiket Commuter Line Manggarai-Depok

Gue langsung ngajak Azuk jalan ke peron yang bakal dilewatin keretanya. Sejujurnya gue juga gak tau keretanya yang mana, tapi untungnya ada ibu-ibu yang lagi gandeng anaknya terus nanya, "Mau ke Depok juga, dek?"
"Iya, bu," kata gue.
"Ayo, bareng aja sini." Alhamdulillah, dari tadi ada aja jalannya. Kita berdua langsung seneng dan mengekori ibu itu.

Gak lama, keretanya dateng. Pas pintunya kebuka, asli gue bingung. Kita mau di mana? Sumpah itu kereta udah penuh banget, desek-desekan, umpel-umpelan, atau apalah namanya. Ibu-ibu tadi langsung ngajakin gue naik, katanya keburu ketinggalan. Gue sama Azuk yang masih bengong disuruh paksain aja, muat-muatin. Daripada gak dapet kereta katanya.

Ini pengalaman terburuk gue selama naik kereta. Gue pernah naik kereta penuh, bahkan ekonomi yang penuh juga pernah. Tapi gak separah Commuter Line jam pulang kantor begini. Gue berani jamin kalau lo pingsan juga badan lo gak bakal jatuh karena emang udah kedempet kiri kanan depan belakang. Saking rapetnya, mau nengok aja susah, napas ngos-ngosan. Gue sempet gak yakin bakal bertahan sampe Depok.

Kereta ini berhenti tiap stasiun. Otomatis penumpangnya juga nambah tiap stasiun. Semakin sumpek, semakin rapet, semakin gak seimbang oksigen yang ada sama jumlah penghirupnya. Bener aja, si Azuk udah pusing dan pucet banget mukanya. Dia langsung jongkok dan untungnya penumpang di situ gak marah. Mereka malah ngasih tempat buat Azuk dan ada juga yang ngasih kantong plastik. Jaga-jaga kalau muntah.

Setelah memasuki kawasan Lenteng Agung, kereta udah gak dimasukin orang lagi, tapi penumpang justru mulai turun. Walaupun begitu, tetep aja kereta masih terasa sesak banget. Gue kasian banget sama mas-mas yang di depan pintu. Badannya bener-bener nempel ke pintu. Gue gak tau gimana caranya dia nahan badannya supaya gak jatuh waktu pintu kebuka. Semangat, mas! Semanga juga buat Azuk yang masih pucet aja mukanya.

Gue bersorak dalam hati waktu sampe di Depok Baru. Azuk langsung gue suruh duduk di stasiun. Udah baikan, kita jalan keluar. Gue salah keluar, malah lewat belakang, gelap banget parah. Sekarang udah jam 7an malem. Kita masih jalan bareng sampe di jembatan depan terminal. Gue harus nyeberang, tapi Azuk lurus. Kita harus berpisah :')

Setelah saling menyemangati (?) kita jalan masing-masing. Sampe di angkot 06 gue masih kepikiran, mencoba me-reka ulang perjalanan gue setengah hari ini. Sambil ngebales-balesin sms Mita yang penasaran dan nyokap yang nanya gue lagi di mana.

Gue sempet deg-degan waktu masuk rumah. Secara, gue gak bilang-bilang ada tour dadakan dan nekat aja tadi. Alhamdulillah seisi rumah gue gak ada yang marah, bahkan nanya gue dari mana juga nggak -_-"
Ternyata cerita gue belum selesai sampe sini.
Waktu gue lagi santai-santai nya di kasur, tiba-tiba Azuk sms. Dia abis baca brosur yang diambil di JF tadi. Dan ternyata...

Gue dan Azuk salah daftar.

Ujian yang pendaftarannya ditutup hari ini memang ujian N5 tapi bukan sebenarnya. Hanya semacam simulasi ujian yang singkatnya les bahasa Jepang selama dua hari dari jam 6 sore sampe jam 8 malam. 
WTH???
Ini gak mungkin banget, karena, mau pulang jam berapa gue?? Siapa yang nganterin? Siapa yang jemputin? Yah, intinya, perjalanan panjang kita setengah hari tadi itu sia-sia karena kita salah daftar.

Well, gue cukup shock waktu tau itu. Tapi abis itu gue dan Azuk ketawa-tawa aja. Kita emang salah daftar, tapi perjalanan kita hari ini gak sepenuhnya sia-sia. Banyak pelajaran yang gue dapet dari perjalanan tadi.

Misalnya, cara bersabar, gak malu bertanya, berani mandiri, dan berani menjelajah daerah baru. Kita juga semakin yakin kalau orang Indonesia itu beneran ramah-ramah. Kita nanya apa aja ditanggepin. Terlepas jawabannya bener atau nggak, setidaknya masih dijawab yang kadang bonus senyuman. Kita juga jadi mengerti sedikit lah perasaan orang-orang yang udah kerja, jadi nanti gak kaget-kaget amat (?). Dan penting nih, kita jadi tau cara mengatasi situasi di daerah yang asing buat kita, ya dengan bertanya. Lumayan, kan, buat persiapan kehidupan kuliah kita di luar negeri (Jepang, aamiin).

Dan yang pasti kerasa banget, Allah selalu nunjukin jalan buat hamba-Nya yang berusaha. Jadi, jangan menyerah pada keadaan.

Sampe sekarang gue gak bisa lupa dan emang gak mau lupa petualangan gue itu. Mungkin kesannya berlebihan, tapi kalau ngalamin sendiri ini bener-bener luar biasa. Kita kaya anak hilang di kota besar di tengah-tengah orang kantoran. Pokoknya rasanya gimanaa gitu. Ini pertama kalinya gue naik busway. Ini juga pertama kalinya gue ngbolang bareng temen ke Jakarta dan sama-sama gak tau arah. Dan gue baru sadar, ongkos muter-muter Jakarta itu termasuk murah:
(2 x tiket kereta Rp.6000,-) + (2 x tiket busway Rp.3500,-) = Rp. 19.000,-
Bahkan gak nyampe 20 ribu. Wow.

Pokoknya perjalanan ini sangat seru dan mengesankan buat gue. Iya nggak, Zuk? Hehe :D

Diposting oleh Nisanasini di 10.56 0 komentar  

Label: Unforgettable Memory

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod

Work under CC License.

Creative Commons License